Minggu, 16 Maret 2008

Bobot Spiritual Makanan

Dalam surat Abasa ayat 24, Allah SWT berfirman, falyandzuril insaanu ilaa tho’amih (maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya). Saat ini kita hidup di zaman ketika makanan telah memasuki wilayah ’global lifestyle’. Kita mengenal istilah 3F (food, fashion, fun) atau makanan, pakaian, hiburan. Makanan terbaik seorang bayi misalnya, teristimewa yang berusia 0-6 bulan, yakni ASI saja, sampai saat ini masih kalah populer dengan iklan (sekaligus penggunaan) susu formula. Padahal, keunggulan ASI yang tidak akan pernah tertandingi oleh makanan atau susu manapun itu, memiliki legalitas teologis yang sangat jelas, antara lain dalam Surat Al-Baqarah ayat 233.

Dalam buaian iklan, makanan dicitrakan sebagai simbol gaya hidup, dan bahkan simbol kemapanan sosial. Ironisnya, supremasi pertimbangan status halal sebuah produk makanan, dipersepsi sementara orang sebagai belenggu kebebasan untuk memanjakan lidah dan perut. Padahal, Syeh Abu Ishaq Ibrahim al-Matbuly dalam salah satu kumpulan wasiatnya mengingatkan bahwa secara umum, kemaksiatan yang dilakukan manusia pada dasarnya disebabkan makanan yang masuk dalam perutnya. Barangsiapa makan makanan yang tidak halal kemudian berniat melakukan ketaatan, maka itu sama artinya dengan mengharapkan sesuatu yang mustahil.

Imam Sahal mengingatkan, orang yang mengonsumsi makanan haram tidak akan terbuka hatinya. Shalat, puasa dan sedekahnya tidak diterima Allah. Imam Abu Hanifah berkata, meski seseorang beribadah kepada Allah terus menerus, tetapi jika tidak peduli makanan apa yang masuk dalam perutnya, maka semua ibadahnya sia-sia.
Sayyid Abdul Wahab Asy-Sya’rani dalam kitab Al-Minah as-Saniyah mengutip pengalaman Sufyan. ”Ketika saya makan makanan halal, kemudian membaca Al-Qur’an, terbuka bagiku 70 macam ilmu. Sebaliknya, ketika ikut makan dengan orang yang tidak meneliti makanannya, tidak satupun ilmu yang terbuka”, kata Sufyan.

Ali Al-Khawas, juga seperti ditulis Asy-Sya’rani, mengatakan, seseorang yang makan makanan halal, hatinya menjadi bersinar, sedikit tidurnya, dan tidak terhalang hatinya tercelup dalam kasih sayang Tuhan. Sebaliknya, orang yang makan makanan haram, anggota badannya cenderung mudah melakukan maksiat.
Pantaslah, diceritakan dalam salah satu hadits, bahwa suatu ketika Sa’ad mendatangi Rasulullah Saw, kemudian meminta, ”Ya Rasulullah, mohonkan kepada Allah agar do’aku diperkenankan oleh-Nya”. Rasulullah menjawab, ”athib tho’mataka tustajab da’watuka, perbaiki makananmu, maka do’amu dikabulkan”

Bobot spiritual makanan, tersimpan dalam hikmah-hikmah halal dan thoyyib-nya sebuah produk makanan, dan bukan pada aspek ’gaya hidup’ yang diusung iklan. Perkara halal, kita tahu, mencakup dimensi ’zat’ dan sekaligus ’cara’ memperoleh makanan itu sendiri. Makanan yang dari segi zatnya halal, tetapi diperoleh dengan cara yang batil, seperti melalui riba, suap, korupsi dan lain-lain, tetaplah haram. Ujung-ujungnya, Rasulullah Saw mengingatkan kita dalam salah satu haditsnya, bahwa setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, nerakalah yang pantas untuknya. Wallahu a’lam.
(La Ode Ahmad)

Sabtu, 15 Maret 2008

Ujian Sehat dan Sakit

ALHAMDULILLAH kawan, kita berjumpa lagi dalam kajian-kajian ringan mengenai kehidupan kita sehari-hari. Kali ini saya akan mencoba berbagi cara pandang dengan anda, bagaimana sesungguhnya atau bahkan seperti apa seharusnya cara kita memahami fenomena sehat dan sakit dalam hidup ini.

Baik, jika semua manusia di atas permukaan bumi ini tidak pernah sakit, maka tidak akan pernah ada puskesmas, rumah sakit, balai pengobatan, klinik kesehatan. Tidak akan per-nah ada mantri, perawat, dokter. Tidak akan pernah ada sekolah-sekolah kese-hatan seperti SPK, Akper, Fakultas Kedokteran, dll. Tidak akan pernah ada guru-guru atau dosen-dosen kese-hatan. Tidak akan pernah ada penerbit-penerbit buku kesehatan. Tidak akan per-nah ada penjual buku-buku kesehatan. Tidak akan pernah ada pemilik toko buku kesehatan. Tidak akan pernah ada pabrik alat-alat kesehatan. Tidak akan per-nah ada pabrik obat. Tidak akan pernah ada apotek. Tidak akan pernah ada toko obat. Wow, dan masih banyak lagi, kawan. Berkaitan dengan semua itu, Anda bisa menghitung bera-pa jumlah pengangguran jika manusia tidak pernah ada yang sakit ?

Oke, kita sepakat bahwa banyak pengang-guran jika nikmat sehat tidak berpasangan dengan sakit. Itu artinya, dalam wujud pasangan sehat dengan sakit, tersimpan potensi kehidupan. Pertanyaannya kemudian adalah, kalau begitu, apakah menjadi sakit itu baik ? Pertanyaan inilah yang akan menjadi titik sentral bahasan kita kali ini.

Begini kawan, sehat maupun sakit sepenuhnya adalah bagian tak terpisah-kan dari kodrat irodat Allah SWT. Sehat dan atau sakit, dua-duanya adalah ujian. Kalau anda sehat, itu berarti Allah menguji anda, apakah anda akan bersyukur atas nikmat sehat itu? Sebaliknya, jika anda sakit, itu juga artinya Allah menguji anda, apakah anda akan bersabar menerima kejadian sakit itu? Jika pada saat sehat, anda bersyukur, dan pada saat sakit, anda bersabar, itu artinya anda lulus mengha-dapi dua jenis ujian itu. Dan, dengan kelulusan tersebut, tabungan amal soleh anda dengan sendirinya bertam-bah.

Dengan demikian, se-hat atau sakit, kalau disikapi dengan tepat, ternyata dua-duanya adalah ladang pa-hala. Yang sehat mendapat pahala karena kesyukuran-nya. Yang sakit juga menda-pat pahala karena kesaba-rannya. Persoalannya seka-rang kembali pada diri kita, lebih suka pahala yang diperoleh dari jalur mana? Kalau kita lebih suka pahala dari “jalur sehat”, maka menjadi tugas kita untuk mengupayakan kesehatan itu untuk kemudian kita syukuri. Tetapi kalau anda lebih suka mendapat pahala dari “jalur sakit” , maka jangan lupa anda harus mempersiapkan kesabaran yang tinggi untuk menghadapinya. Kalau tidak, boro-boro dapat pahala.

Kawan, satu hal yang tidak boleh dilupakan, bah-wa yang kita peroleh dalam hidup ini tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Anda boleh menginginkan sehat, tetapi boleh jadi yang terjadi adalah anda terbaring lunglai di rumah sakit. Jadi, antara keinginan dan kenyataan tidak selalu sejalan, karena faktor yang paling menentukan dan tak akan pernah terkalahkan adalah kodrat irodat Allah. Maka kalau menginginkan pahala yang terus mengalir, kita harus pandai mengatur diri: kapan kita harus bersyukur dan kapan kita harus bersabar.

Hal mendasar lainnya yang perlu diperhatikan adalah, bahwa hal-hal yang tidak disenangi, atau hal-hal yang tidak diinginkan, tidak selamanya mengandung keburukan bagi kita. Begitu pula sebaliknya, hal-hal yang menyenangkan atau hal-hal yang kita inginkan, tidak selalu mengandung keba-ikan bagi kehidupan kita. Bisa saja kita benci pada sesuatu, atau benci pada seseorang, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya. Oleh karena itu, Allah mengingat-kan kepada kita melalui firman-Nya dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 216 yang artinya: “Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”

Atas dasar itu, maka sikap terbaik yang perlu kita lakukan adalah selalu ber-prasangka baik kepada Allah dalam suasana apa-pun juga. Dengan cara ini kita akan selalu dapat mengambil hikmah-hikmah kebaikan di dalam setiap situasi yang kita hadapi. Dan dengan cara itu pula, percayalah kawan, Allah akan selalu menunjukkan kepada kita jalan yang sering kita minta setiap kali kita Sholat atau membaca Surat Al-Fatehah: ihdina-shirathal mustaqim (tunju-kanlah kepada kami jalan yang lurus).

Kalau Allah SWT su-dah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus itu, maka itu artinya kita sudah memegang tiket keselama-tan, dunia maupun akhirat. Dengan tiket keselamatan itu, kita tidak akan pernah kesasar dalam menyusuri perjalanan hidup ini, mulai dari dunia sampai ke terminal terakhir kita di akhirat. Dan, semoga termi-nal terakhir kita itu bernama Surga Jannatun-na’im.
(La Ode Ahmad)